Raja Ali Haji
Raja Ali Haji adalah anak raja ahmad
dan cucu raja haji Fisabillilah, banhsawan dari kesultanan riau lingga. Ayahnya
adalah orang terpelajar yang juga termasuk pengarang riau lingga yang terkenal
dan rajin menuntut ilmu. Nenek moyang raja ali haji sebetulnya adalah raja
bugis yang pertama kali memeluk islam. Namanya la madusilat. Salah seorag anak
La madusilat pergi mengembara hingga ketanah riau lingga dan mendapat kedudukan
penting dalam kesltanan riau lingga. Raja Ali Haji tumbuh dalam keluarga
yang memiliki tradisi keagamaan dan keilmuan yang kuat. Sejak kecil ayahnya
telah mendidiknya dalam mempelajari bahasa arab dan ilmu agama dengan baik
bahkan ia pernah menuntut ilmu sampai ke mesir dan mekkah. Bersama dengan
ayahnya dan sebelas kerabat lainya, ia termasuk bangsawan riau lingga
yang pertama kali mengunjungi tanah suci mekkah, yaitu pada 1828. Sekembalinya
dari menuntut ilmu dinegeri sebrang Raja Ali Haji menjadi seorang ulama yang
terkenal dinegerinya. Ia menjadi tumpuan orang-orang yang hendak bertanya
maupun belajar masalah keagamaan ataupun masalah-masalah lainya. Raja Ali Haji
kemudian juga terkenal akan karya-karya sastranya yang berbentuk prosa maupun
puisi. Karya-karya sastranya berisi beragam tema, diantaranya hukum, sastra,
bahasa, dan (Yang Paling banyak) keagamaan pada tahun 1847 Raja Ali Haji
menulis salah satu karyanya yang berjudul Gurindam Duabelas. Karyanya tersebut
menjadi amat terkenal. Pada tahun 1858 ia juga menulis kitab pengetahuan bahasa
yang kemudian menjadi pelopor perkamusan monolingual bahsa melayu. Selain dua
judul diatas, karyanya yang lain adalah syair Abdul Muluk, sisilah melalui
didis, syair hukum nikah, syair siti sianah, tsamarat al-muhimmah, sinar gemala
mustika alam, tuhfat al nafis. Sayang, di indonesia hanya syair Abdul Muluk dan
gurindam Dua belas yang pernah diterbitkan secara komersial. Itupun setelah ia
wafat. Hanya gurindam duabelas yang diketahuin oleh masyarakat awam di
indonesia hingga saat ini. Karya-karya raja Ali Haji lebih banyak diterbitkan
secara bail dan layak di malaysia. Gurindam duabelas juga pernah diterbitkan
dinegeri belanda pada tahun 1953. Raja Ali Haji adalah tonggak sastra melayu
yang memiliki peran penting dalam khasanah sastra indonesia. Melihat
karya-karyanya yang boleh disebut sebagai pelopor atau cikal bakal yang
melicinkan jalan terbentuknya bahasa nasional indonesia, Raja Ali Haji termasuk
putra bangsa yang pantas mendapat penghargaan tinggi. Pantaslah pemerintah menganugerahkan
Gelar Pahlawan Nasional lewat SK Presiden No.089/TK/Tahun 2004.
Sumbangan Raja Ali Haji.
Raja Ali Haji muncul sebagai tokoh
bahasa, kesusasteraan, sejarah, politik dan juga tokoh agama yang ulung pada
zamannya (Mohd. Sharifudin Yusop dan Mohd. Lani Sobi, 1999). Sumbangan beliau
terhadap persuratan Melayu amat penting. Daya kreativitinya dan kepekaannya
terhadap permasalahan yang berlaku di sekelilingnya menjadikan beliau begitu
masyhur. Dalam bidang agama, beliau menjadi guru kepada Yamtuan Muda Riau
selain mengajarkan agama Islam kepada pembesar dan rakyat jelata. Beliau turut
menghasilkan karya-karya berteraskan Islam seperti Gurindam Dua Belas, Syair
Abdul Muluk, Syair Suluh Pegawai dan Syair Sinar Gemala Mustika Alam. Dalam
bidang sejarah pula, beliau menghasilkan dua buah kitab sastera sejarah yang
penting terutamanya bagi keturunan raja-raja Bugis iaitu Tuhfat al-Nafis dan
Salasilah Melayu Bugis dan Sekalian Raja-rajanya. Sebagai tokoh bahasa, beliau
menghasilkan pula Bustanul Katibin dan Kitab Pengetahuan Bahasa.
Ternyata Raja Ali Haji seorang tokoh
yang tiada tolok banding jika diteliti karya-karyanya yang meliputi pelbagai
bidang itu. Dalam bidang bahasa, beliaulah yang diketahui orang pertama yang
menulis tentang tatabahasa bahasa Melayu dalam Bustanul Katibin dan cuba
menyusun sebuah kamus Melayu melalui Kitab Pengetahuan Bahasa. Menurut Wan
Samsuddin Mohd. Yusoff (1976), mengenai bukunya Tuhfatul Nafis, C. Hooykaas dan
Winstedt bersependapat menyatakan bahawa sesudah sejarah Melayu, Tuhfatul Nafis
dipandang sebagai sumber terpenting dalam pensejarahan Melayu. Dalam bidang
sejarah, beliau berusaha membuat catatan sejarah yang lengkap tentang keturunan
Raja-raja Melayu dan Bugis dalam bentuk penulisan kreatif yang terakam dalam
Tuhfatul Nafis dan Salasilah Melayu Bugis dan Sekalian Raja-rajanya. Untuk
pertama kalinya juga beliau menggarap penulisannya secara lebih realistik
sekaligus mengurangkan unsur-unsur mitos, dongeng dan khayalan dalam
penghasilan karya.
Walaupun terdapat
pembaharuan-pembaharuan dalam hasil karangan beliau, Raja Ali Haji tetap
dianggap pengarang klasik. Beliau bergaul dengan sarjana-sarjana dan
pembesar-pembesar Barat, tetapi pengaruh mereka tidaklah besar. Dalam hal ini,
Raja Ali Haji berbeza dengan Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi, yang menurut
R.Roolvink dalam Mohamad Daud Mohamad (1987) telah berada di perbatasan kebudayaan
Timur dan Barat. Abdullah sudah keluar daripada lingkungan masyarakatnya
sendiri walaupun tidak secara keseluruhan. Raja Ali Haji dapat menghargai
nilai-nilai peradaban Barat, namun demikian beliau menganggap nilai-nilai Barat
tidak sesuai dengan masyarakat Melayu. Pujangga ulung ini tetap berdiri teguh
dalam lingkungan kebudayaan Melayu dan dengan keras mempertahankan
nilai-nilainya.
Hamzah Fansuri
Syeikh Hamzah Fansuri adalah seorang
cendekiawan, ulama tasawuf, dan budayawan terkemuka yang diperkirakan hidup
antara pertengahan abad ke-16 sampai awal abad ke-17. Nama gelar atau takhallus
yang tercantum di belakang nama kecilnya memperlihatkan bahwa pendekar puisi
dan ilmu suluk ini berasal dari Fansur, sebutan orang-orang Arab terhadap
Barus, sekarang sebuah kota kecil di pantai barat Sumatra yang terletak antara
kota Sibolga dan Singkel. Sampai abad ke-16 kota ini merupakan pelabuhan dagang
penting yang dikunjungi para saudagar dan musafir dari negeri-negeri jauh.
Sayang sekali bukti-bukti tertulis yang dinyatakan kapan sebenarnya Syeikh
Hamzah Fansuri lahir dan wafat, di mana dilahirkan dan di mana pula jasadnya
dibaringkan dan di tanam, tak dijumpai sampai sekarang. Tetapi dari syair dan
dari namanya sendiri menunjukkan bahwa sudah sekian lama beliau berdominasi di
Fansur, dekat Singkel, sehingga mereka dan turunan mereka pantas digelari
Fansur. Pada ahli cenderung memahami dari syair-syairnya bahwa Hamzah Fansuri
lahir di tanah Syahmawi, tapi tidak ada kesepakatan mereka dalam
mengidentifikasikan tanah Syahmawi itu, ada petunjuk tanah Aceh sendiri ada
yang menunjuk tanah Siam, dan bahkan ada sarjana yang menunjuk negeri Persia
sebagai tanah yang di Aceh oleh nama Syamawi.
Dalam buku Hamzah Fansuri Penyair
Aceh, Prof. A. Hasymi menyebut bahwa Syeikh Hamzah Fansuri hidup dalam masa
pemerintahan Sultan Alaidin Riayat Syah IV Saiyidil Mukammil (997-1011
H-1589-1604 M) sampai ke permulaan pemerintahan Sultan Iskandar Muda Darma
Wangsa Mahkota Alam (1016-1045 H-1607-1636 M). Dari berbagai sumber disebutkan
bahwa Syeikh Hamzah al-Fansuri telah belajar berbagai ilmu yang memakan waktu
lama. Selain belajar di Aceh sendiri beliau telah mengembara ke pelbagai
tempat, di antaranya ke Banten (Jawa Barat), bahkan sumber yang lain menyebut
bahwa beliau pernah mengembara keseluruh tanah Jawa, Semenanjung Tanah Melayu,
India, Parsi dan Arab. Dikatakan bahwa Syeikh Hamzah al-Fansuri sangat mahir
dalam ilmu-ilmu fikih, tasawuf, falsafah, mantiq, ilmu kalam, sejarah, sastra
dan lain-lain. Dalam bidang bahasa pula beliau menguasai dengan kemas seluruh
sektor ilmu Arabiyah, fasih dalam ucapan bahasa itu, berkebolehan berbahasa
Urdu, Parsi, Melayu dan Jawa.
Karya-karya Syeikh Hamzah Fansuri
baik yang berbentuk syair maupun berbentuk prosa banyak menarik perhatian para
sarjana baik sarjana barat atau orientalis barat maupun sarjana tanah air. Yang
banyak membicarakan tentang Syeikh Hamzah Fansuri antara lain Prof. Syed
Muhammad Naquib dengan beberapa judul bukunya mengenai tokoh sufi ini, tidak
ketinggalan seumpama Prof. A. Teeuw juga r.O Winstedt yang diakuinya bahwa
Syeikh Hamzah Fansuri mempunyai semangat yang luar biasa yang tidak terdapat
pada orang lainnya. Dua orang yaitu J. Doorenbos dan Syed Muhammad Naquib
al-Attas mempelajari biografi Syeikh Hamzah Fansuri secara mendalam untuk
mendapatkan Ph.D masing-masing di Universitas Leiden dan Universitas London.
Karya Prof. Muhammad Naquib tentang Syeikh Hamzah Fansuri antaranya :
- The Misticim of Hamzah Fansuri
(disertat 1966), Universitas of Malaya Press 1970
- Raniri and The Wujudiyah, IMBRAS,
1966
- New Light on Life of Hamzah
Fansuri, IMBRAS, 1967
- The Origin of Malay Shair, Dewan
Bahasa dan Pustaka, 1968
Menurut beberapa pengamat sastra
sufi, sajak-sajak Syaikh Hamzah al-Fansuritergolong dalam Syi'r al- Kasyaf wa al-Ilham,
yaitu puisi yang berdasarkan ilham dan ketersingkapan (kasyafi yang umumnya
membicarakan masalah cinta Ilahi) .
Sumbangan Hamzah Fansuri
Syeikh Hamzah Fansuri bukan sahaja
seorang ahli sufi dan penyair terkemuka, bahkan juga seorang perintis dan
pelopor dalam perkembangan kebudayaan Islam. Sumbangannya boleh dilihat dalam
bidang kerohanian, keilmuan, falsafah, bahasa dan sastera. Beliau dikatakan
seorang intelektual yang berani pada zamannya kerana kritikannya yang tajam.
Beliau mengkritik perilaku politik dan moral raja-raja, golongan bangsawan dan
orang-orang kaya pada ketika itu. Dalam bidang keilmuan, beliau mempelopori
penulisan risalah tasawuf atau keagamaan yang bersifat ilmiah. Sebelum
karya-karyanya muncul, masyarakat Islam ketika itu mempelajari ilmu-ilmu agama,
tasawuf dan sastera melalui kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab.
Dalam bidang sastera, beliau
mempelopori penulisan puisi-puisi falsafah dan mistik bertemakan Islam.
Ketinggian falsafah yang terkandung dalam bait-bait puisinya sangat sukar
ditandingi oleh penyair lain yang hidup sezaman atau sesudahnya. Beliaulah
orang pertama yang memperkenalkan syair Melayu yang bercirikan puisi empat
baris dengan pola rima akhir a-a-a-a. Jika diteliti daripada struktur syair
yang diperkenalkan oleh Hamzah Fansuri, syair beliau seolah-olah merupakan
kesepaduan antara ruba’i Parsi dan pantun Melayu. Seperti juga pantun dan
ruba’i, syair ialah puisi empat baris yang terdiri daripada dua misra’ atau
pasangan. Namun, syair berbeza daripada pantun kerana syair tidak mempunyai
pembayang dan isi.
Dalam bidang kebahasaan, sumbangannya
dapat ditelusuri dalam syair-syair dan risalah-risalah tasawuf yang sangat
besar jasanya dalam proses Islamisasi bahasa Melayu. Islamisasi bahasa adalah
sama dengan Islamisasi pemikiran dan kebudayaan. Syair-syairnya tidak hanya
memperkaya perbendaharaan kata bahasa Melayu, tetapi turut menggabungkan
konsep-konsep Islam dalam pelbagai bidang kehidupan dalam sistem bahasa.
Karya-karya sufisme yang terzahir dalam syair-syairnya telah mengubah
perspektif dan fungsi sastera ini. Kesannya, satu dimensi baharu untuk memahami
kehidupan dan keindahan diperkenalkan. Melalui hasil tulisannya, beliau memberi
penjelasan sebab manusia harus mencari Tuhan dan memberi garis petunjuk untuk
mencari Tuhan.
ABDUL
RAUF SINGKEL
Nama sebenar beliau ialah Aminuddin
Abdul Rauf bin Ali Al-Jawi Tsumal Fansuri As-Singkili. Beliau dilahirkan di
Kabupaten Singkel, sebuah daerah kecil di Aceh Selatan pada tahun 1620, iaitu
lebih 100 tahun selepas kejatuhan Melaka di tangan Portugis. . Abdul Rauf
Singkel meninggal dunia pada tahun 1693, ketika berusia 73 tahun. Beliau
dimakamkan di perkarangan masjid yang dibangunkannya di Kuala Aceh.
Beliau lebih dikenali sebagai Tok
Syeikh di Kuala. Syeikh Kuala ini merupakan seorang penulis dan seorang ulama
yang mengajar di Aceh sekitar tahun 1661, iaitu pada akhir abad ke-13. Abdul
Rauf atau Syeikh Kuala dilahirkan di Singkel, barat Aceh. Oleh
itu dalam dunia kepengarangan, beliau
dikenali sebagai Abdul Rauf Singkel. Sebagai mengenang jasa dan menghormati
peribadi beliau, sebuah universiti di Bandar Acheh telah dinamakan sempena nama
beliau, iaitu Universitas Syiah (Syiyaah) Kuala.
Syeikh Abdul Rauf Singkel telah
memulakan pendidikan di kampung halamannya sendiri kemudian meneruskannya di
ibu kota kerajaan Acheh pula. Beliau sering sahaja berpindah ketika mencari
ilmu. Beliau juga mempelajari berbagai disiplin ilmu seperti tatabahasa Arab,
membaca al-Qur’an, ilmu hadith, fiqh dan lain-lain sehingga kepada ilmu batin. Beliau
juga pernah belajar seni bacaan al-Qur’an daripada seorang guru yang dikira
sebagai qari terbaik pada masa itu, iaitu Sheikh ‘Abdullah al-‘Adani.
Sekembalinya dari Tanah Arab pada
tahun 1661M, pemikirannya dapat mempengaruhi kalangan penguasa istana. Sehingga
Sultanah Safiyatuddin yang sedang memerintah pada masa itu telah menjadikan
beliau sebagai rujukan keilmuan dan sebagai penasihat istana.
a) Pengiktirafan Sebagai Pegawai Agama
Golongan ulama sebagai pemegang
kekuasaan dalam soal hukum hakam, manakala sultan atau sultanah sebagai
pemegang kekuasaan politik atau pemerintahan.
Keharmonian hubungan yang sedemikian,
memberikan kesempatan kepada penyebaran Islam dan penghayatan tamadunnya begitu
cepat berkembang. Sultan atau sultanah pada masa itu adalah sebagai pelindung
kepada penyebaran Islam. Sultan-sultan Acheh telah memberi kesempatan yang
sangat luas bagi perkembangan ilmu pengetahuan, malahan sebahagian daripada
mereka boleh dikategorikan sebagai ulama.
Pada zaman pemerintahan Sultan Iskandar
Muda pada tahun 1607-1636M, Acheh telah melahirkan ramai para ulama besar dan
terkemuka yang sukar ditandingi dan sangat dikagumi sehingga kini. Antara ulama
besar yang muncul pada masa itu ialah Hamzah al-Fansuri, Syamsuddin
al-Sumatrani, Abdul Rauf Singkel, Nuruddin al-Raniri, Ibrahim al-Syami dan
lain-lain lagi.
TUN SERI LANANG
i.
Biodata peribadi
Tun Seri Lanang atau nama sebenar beliau Tun
Muhammad adalah anak kepada Paduka Raja Tun Ahmad. Beliau dilahirkan di Bukit
Seluyut, Batu Sawar, Johor Lama pada tahun 1565. Beliau adalah anak keturunan
Bendahara Kerajaan Melayu Melaka dan Johor, serta merupakan cucu kepada
Bendahara Seri Maharaja Tun Mutahir. Beliau adalah Bendahara Johor pada tahun
1570 hingga 1579 dengan gelaran Paduka Raja III semasa zaman pemerintahan Sultan
Ali Jalla Abdul Jalil Shah II dan Sultan Alauddin Riayat Shah III. Tun Seri
Lanang juga ditakdirkan bakal menjadi penasihat kepada tiga sultan Kerajaan
Islam Aceh Darussalam, Sultan Iskandar Muda, Sultan Iskandar Thani, dan
Sultanah Tajul Alam Safiatuddin Shah.
Ketika Sultan Iskandar Muda memerintah Aceh sejak
1607 hendak meluaskan penaklukan kuasanya telah berjaya menghancurkan Batu
Sawar, Johor pada tahun 1613. Dengan ini, seluruh penduduk serta perangkat
istana termasuk Sultan Alauddin Riayat Shah III, Putri Kamalilah (Putri Pahang)
dan Bendahara (perdana menteri) tun Muhammad ikut serta dalam penghijrahan ke
Aceh dan telah menetap di negeri Samalanga. Di situ Tun Seri Lanang telah
belajar agama dengan Syeikh Nuruddin Al Raniri, manakala Tun Seri Lanang pula
mengajar Syeikh Nuruddin Al Raniri bahasa Melayu. Di Aceh beliau bergelar
‘Orang Kaya Dato’ Bendahara Seri Paduka Tun Seberang’.
Peribadi Tun Seri Lanang yang lebih suka membenamkan
diri dalam kehidupan masyarakat bawah dan menjalani kehidupan seharian sebagai
petani, pembuat perahu dan guru agama termasuk mengajarkan Bahasa arab
menyebabkan beliau tidak dikenali serta merta sebagai salah seorang pembesar
kerajaan. Walau bagaimanapun, setelah Putri Pahang telah menceritakan tentang
peribadi asli Tun Seri Lanang yang merupakan seorang yang berpengetahuan luas,
seorang ahli tata negara kerana mempunyai pengalaman menjadi bendahara
kesultanan Johor. Dengan ini, Tun Seri Lanang diberikan mandat oleh Sultan
Iskandar Muda untuk menjadi raja pertama di Samalanga, iaitu sebuah daerah di
Timur Aceh. Beliau menjawat jawatan tersebut bermula pada 1615 sehingga 1659.
Pada tahun 1659, Tun Seri Lanang telah mangkat di
Lancok dan dimakamkan di sana. Sebelum kemangkatan beliau telah menjadikan
negeri Samalanga sebagai pusat penyebaran agama Islam di timur Aceh dan
sehingga kini pun kawasan tersebut menjadi tumpuan bagi sesiapa sahaja yang
ingin mendalami ilmu agama. Hal ini kerana latar belajang Aceh digelari dengan
sebutan “Serambi Mekah”.
ii.
Peranan dan Sumbangan dalam perkembangan bahasa
Sepanjang hayat Tun
Seri Lanang, beliau bukan sahaja memiliki ilmu kenegaraan malah mempunyai
kepakaran dalam membuat syair. Karya agungnya yang berjudul Sulalatus Salatin (Peraturan Raja-Raja)
atau nama jolokannya Sejarah Melayu
dikenali sebagai salah satu perbendaharaan masa lalu yang abadi sehingga saat
ini. Karyannya yang monumental itu merupakan sebuah hasil sastera sejarah yang
bercorak prosa-riwayat. Beliau bertindak mengarang dan meyusun semula Sulalatus Salatin dan pelbagai perubahan
serta penambah baikkan yang dilakukan beliau sehingga karya tersebut
menggambarkan sejarah orang Melayu.
Tun Seri Lanang amat
berjasa dalam membuktikan bahawa masyarakat Melayu zaman dahulu kala sudah
mengenal gaya penulisan berkesusasteraan tinggi. Hal ini kerana beliau
merupakan tokoh pengarang dan pujangga yang terkenal dalam penghasilan buku
sejarah mahupun panduan adat istiadat dalam peradaban, kebudayaan serta sistem
pemerintahan Melayu. Dalam kepengarangannya, masyarakat terdedah dengan
ilmu-ilmu yang mampu mendidik masyarakat memiliki jati diri yang tinggi. Selain
itu, beliau juga telah bertanggungjawab dengan mengembangkan agama Islam di
Semenanjung Melayu hingga ke tanah seberang ketika diberi kepercayaan untuk
memerintah Samalanga, Aceh, Indonesia pada tahun1645. Penyebaran agama Islam
telah berlaku dengan luas dalam tempoh pemerintahan beliau di Aceh.
Keintelektualan dan
ketokohan Tun Seri Lanang terus diingati sehingga kini terutamanya dalam bidang
persuratan Melayu. Majlis Bahasa Melayu Singapura (MBMS) telah memperkenalkan
anugerah khas bagi menyemarakkan dunia penulisan, iaitu Anugerah Tun Seri Lanang, anugerah tertinggi yang mengiktiraf
penulis-penulis di Singapura sebagai tokoh seni yang ulung di mata masyarakat berbilang
bangsa dan budaya Singapura.
ABDULLAH MUNSYI
i.
Biodata peribadi
Abdullah Munsyi atau nama sebenarnya Abdullah bin
Abdul Kadir Munsyi dilahirkan pada tahun 1796 di Kampung Masjid yang juga
dikenali sebagai Kampung Pali oleh masyarakat Keling ketika itu. Beliau adalah
anak bongsu daripada empat beradik tetapi ketiga-tiga abangnya telah meninggal
dunia ketika kecil, iaitu berusia antara setahun hingga tiga tahun. Beliau
berasal daripada keturunan India dan Arab yang bermula daripada seorang pemuda
Arab Yaman, Syeikh Abdul Kadir yang mengembara dari Tanah arab sehingga ke
Nagor, India Selatan dan berkahwin dengan gadis tempatan serta bermastautin di
tanah asing itu. Selain itu, Abdul Kadir juga pernah menjadi jurubahasa dan
jurutulis.
Abdullah tinggal bersama neneknya Peri Achi yang
berkerja sebagai seorang guru besar di Kampung Pali semasa bapanya berniaga di
luar negeri Melaka. Dengan ini, beliau lebih cepat pandai menulis dan membaca
berbanding dengan kanak-kanak lain. Tambahan lagi, Abdullah pernah diambil
kerja sebagai kerani, penterjemah dan jurutulis kepada pihak Inggeris sewaktu
kedatangan Stamford Raffles.
ii.
Peranan dan Sumbangan dalam perkembangan bahasa
Sesungguhnya Abdullah
mempunyai pengalaman yang luas dalam bidang penulisan. Menurut Ismail Yusoff
(2008), beliau pernah bekerja sebagai guru bahasa, wartawan, sejarahwan,
penterjemah dan banyak lagi pekerjaan yang melibatkan bahasa. Selain itu,
kejayaan Abdullah dalam bidang penulisan banyak didorong oleh faktor
persekitaran seperti keadaan sosio-politik, kehidupan keluarga malah bakat
semulajadi yang dimilikinya.
Terdapat banyak karya
bermutu yang dihasilkan oleh Abdullah Munsyi, antaranya Syair Singapura
Terbakar (1830), Kisah Pelayaran Abdullah ke Kelantan (1938), Kitab Adat Segala
Raja-Raja Melayu dalam Segala Negeri(1838) dan Kisah Pelayaran Abdullah ke
Juddah(1854). Di samping itu, beliau turut menghasilkan karya terjemahan
Hikayat Pancatanderan dan menyunting Sejarah Melayu, malahan ada karya-karya
beliau telah diterjemahkan ke dalam bahasa asing.
Kebanyakan karya yang
dihasilkan beliau membawa unsur-unsur pembaharuan dalam lapangan sastera
Melayu. Selain itu, karya Abdullah dalam bidang sastera menjadi tanda
pergeseran daripada sastera Melayu Tradisional kepada sastera Melayu Moden. Hal
ini dapat dilihat daripada karya syairnya yang penulisannya mula meninggalkan
tradisi pelisanan. Menurut Sweeney (2005: 15-16) menyatakan bahawa Abdullah
membawa pembaharuan dalam bahasa Melayu, terutama dalam penggunaan
konsep-konsep abstrak.
KESIMPULAN
Pengkaji mendapati bahawa masyarakat
Melayu khususnya harus mengetahui tentang tokoh-tokoh pengkarya terdahulu. Hal
ini demikian kerana, mereka sangat bersungguh-sungguh bagi memastikan bangsa
dan agama mereka berilmu dan dihormati oleh orang lain. Selain itu, mereka juga
bersikap sangat mencintai ilmu pengetahuan. Mereka sanggup berkorban masa dan
berjauhan dengan keluarga dalam menuntut ilmu.
Usaha yang dilakukan oleh pengkarya
pada masa dahulu harus diteladani oleh masyarakat kini. Hal ini demikian
kerana, ilmu yang telah disampaikan oleh pengkarya perlu dikembangkan agar
semua lapisan masyarakat dapat memahami isi kandungannya. Tokoh-tokoh dia atas
juga telah banyak memberikan sumbangan terhadap bahasa dan peradaban Melayu.
No comments:
Post a Comment