Tokoh Karya Agung

    
  Raja Ali Haji

             Raja Ali Haji adalah anak raja ahmad dan cucu raja haji Fisabillilah, banhsawan dari kesultanan riau lingga. Ayahnya adalah orang terpelajar yang juga termasuk pengarang riau lingga yang terkenal dan rajin menuntut ilmu. Nenek moyang raja ali haji sebetulnya adalah raja bugis yang pertama kali memeluk islam. Namanya la madusilat. Salah seorag anak La madusilat pergi mengembara hingga ketanah riau lingga dan mendapat kedudukan penting dalam kesltanan riau lingga. Raja Ali Haji  tumbuh dalam keluarga yang memiliki tradisi keagamaan dan keilmuan yang kuat. Sejak kecil ayahnya telah mendidiknya dalam mempelajari bahasa arab dan ilmu agama dengan baik bahkan ia pernah menuntut ilmu sampai ke mesir dan mekkah. Bersama dengan ayahnya dan sebelas kerabat lainya, ia termasuk bangsawan riau lingga  yang pertama kali mengunjungi tanah suci mekkah, yaitu pada 1828. Sekembalinya dari menuntut ilmu dinegeri sebrang Raja Ali Haji menjadi seorang ulama yang terkenal dinegerinya. Ia menjadi tumpuan orang-orang yang hendak bertanya maupun belajar masalah keagamaan ataupun masalah-masalah lainya. Raja Ali Haji kemudian juga terkenal akan karya-karya sastranya yang berbentuk prosa maupun puisi. Karya-karya sastranya berisi beragam tema, diantaranya hukum, sastra, bahasa, dan (Yang Paling banyak) keagamaan pada tahun 1847 Raja Ali Haji menulis salah satu karyanya yang berjudul Gurindam Duabelas. Karyanya tersebut menjadi amat terkenal. Pada tahun 1858 ia juga menulis kitab pengetahuan bahasa yang kemudian menjadi pelopor perkamusan monolingual bahsa melayu. Selain dua judul diatas, karyanya yang lain adalah syair Abdul Muluk, sisilah melalui didis, syair hukum nikah, syair siti sianah, tsamarat al-muhimmah, sinar gemala mustika alam, tuhfat al nafis. Sayang, di indonesia hanya syair Abdul Muluk dan gurindam Dua belas yang pernah diterbitkan secara komersial. Itupun setelah ia wafat. Hanya gurindam duabelas yang diketahuin oleh masyarakat awam di indonesia hingga saat ini. Karya-karya raja Ali Haji lebih banyak diterbitkan secara bail dan layak di malaysia. Gurindam duabelas juga pernah diterbitkan dinegeri belanda pada tahun 1953. Raja Ali Haji adalah tonggak sastra melayu yang memiliki peran penting dalam khasanah sastra indonesia. Melihat karya-karyanya yang boleh disebut sebagai pelopor atau cikal bakal yang melicinkan jalan terbentuknya bahasa nasional indonesia, Raja Ali Haji termasuk putra bangsa yang pantas mendapat penghargaan tinggi. Pantaslah pemerintah menganugerahkan Gelar Pahlawan Nasional lewat SK Presiden No.089/TK/Tahun 2004.

  Sumbangan Raja Ali Haji.

       Raja Ali Haji muncul sebagai tokoh bahasa, kesusasteraan, sejarah, politik dan juga tokoh agama yang ulung pada zamannya (Mohd. Sharifudin Yusop dan Mohd. Lani Sobi, 1999). Sumbangan beliau terhadap persuratan Melayu amat penting. Daya kreativitinya dan kepekaannya terhadap permasalahan yang berlaku di sekelilingnya menjadikan beliau begitu masyhur. Dalam bidang agama, beliau menjadi guru kepada Yamtuan Muda Riau selain mengajarkan agama Islam kepada pembesar dan rakyat jelata. Beliau turut menghasilkan karya-karya berteraskan Islam seperti Gurindam Dua Belas, Syair Abdul Muluk, Syair Suluh Pegawai dan Syair Sinar Gemala Mustika Alam. Dalam bidang sejarah pula, beliau menghasilkan dua buah kitab sastera sejarah yang penting terutamanya bagi keturunan raja-raja Bugis iaitu Tuhfat al-Nafis dan Salasilah Melayu Bugis dan Sekalian Raja-rajanya. Sebagai tokoh bahasa, beliau menghasilkan pula Bustanul Katibin dan Kitab Pengetahuan Bahasa.
               Ternyata Raja Ali Haji seorang tokoh yang tiada tolok banding jika diteliti karya-karyanya yang meliputi pelbagai bidang itu. Dalam bidang bahasa, beliaulah yang diketahui orang pertama yang menulis tentang tatabahasa bahasa Melayu dalam Bustanul Katibin dan cuba menyusun sebuah kamus Melayu melalui Kitab Pengetahuan Bahasa. Menurut Wan Samsuddin Mohd. Yusoff (1976), mengenai bukunya Tuhfatul Nafis, C. Hooykaas dan Winstedt bersependapat menyatakan bahawa sesudah sejarah Melayu, Tuhfatul Nafis dipandang sebagai sumber terpenting dalam pensejarahan Melayu. Dalam bidang sejarah, beliau berusaha membuat catatan sejarah yang lengkap tentang keturunan Raja-raja Melayu dan Bugis dalam bentuk penulisan kreatif yang terakam dalam Tuhfatul Nafis dan Salasilah Melayu Bugis dan Sekalian Raja-rajanya. Untuk pertama kalinya juga beliau menggarap penulisannya secara lebih realistik sekaligus mengurangkan unsur-unsur mitos, dongeng dan khayalan dalam penghasilan karya.
              Walaupun terdapat pembaharuan-pembaharuan dalam hasil karangan beliau, Raja Ali Haji tetap dianggap pengarang klasik. Beliau bergaul dengan sarjana-sarjana dan pembesar-pembesar Barat, tetapi pengaruh mereka tidaklah besar. Dalam hal ini, Raja Ali Haji berbeza dengan Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi, yang menurut R.Roolvink dalam Mohamad Daud Mohamad (1987) telah berada di perbatasan kebudayaan Timur dan Barat. Abdullah sudah keluar daripada lingkungan masyarakatnya sendiri walaupun tidak secara keseluruhan. Raja Ali Haji dapat menghargai nilai-nilai peradaban Barat, namun demikian beliau menganggap nilai-nilai Barat tidak sesuai dengan masyarakat Melayu. Pujangga ulung ini tetap berdiri teguh dalam lingkungan kebudayaan Melayu dan dengan keras mempertahankan nilai-nilainya.

 Hamzah Fansuri
              Syeikh Hamzah Fansuri adalah seorang cendekiawan, ulama tasawuf, dan budayawan terkemuka yang diperkirakan hidup antara pertengahan abad ke-16 sampai awal abad ke-17. Nama gelar atau takhallus yang tercantum di belakang nama kecilnya memperlihatkan bahwa pendekar puisi dan ilmu suluk ini berasal dari Fansur, sebutan orang-orang Arab terhadap Barus, sekarang sebuah kota kecil di pantai barat Sumatra yang terletak antara kota Sibolga dan Singkel. Sampai abad ke-16 kota ini merupakan pelabuhan dagang penting yang dikunjungi para saudagar dan musafir dari negeri-negeri jauh. Sayang sekali bukti-bukti tertulis yang dinyatakan kapan sebenarnya Syeikh Hamzah Fansuri lahir dan wafat, di mana dilahirkan dan di mana pula jasadnya dibaringkan dan di tanam, tak dijumpai sampai sekarang. Tetapi dari syair dan dari namanya sendiri menunjukkan bahwa sudah sekian lama beliau berdominasi di Fansur, dekat Singkel, sehingga mereka dan turunan mereka pantas digelari Fansur. Pada ahli cenderung memahami dari syair-syairnya bahwa Hamzah Fansuri lahir di tanah Syahmawi, tapi tidak ada kesepakatan mereka dalam mengidentifikasikan tanah Syahmawi itu, ada petunjuk tanah Aceh sendiri ada yang menunjuk tanah Siam, dan bahkan ada sarjana yang menunjuk negeri Persia sebagai tanah yang di Aceh oleh nama Syamawi.
             Dalam buku Hamzah Fansuri Penyair Aceh, Prof. A. Hasymi menyebut bahwa Syeikh Hamzah Fansuri hidup dalam masa pemerintahan Sultan Alaidin Riayat Syah IV Saiyidil Mukammil (997-1011 H-1589-1604 M) sampai ke permulaan pemerintahan Sultan Iskandar Muda Darma Wangsa Mahkota Alam (1016-1045 H-1607-1636 M). Dari berbagai sumber disebutkan bahwa Syeikh Hamzah al-Fansuri telah belajar berbagai ilmu yang memakan waktu lama. Selain belajar di Aceh sendiri beliau telah mengembara ke pelbagai tempat, di antaranya ke Banten (Jawa Barat), bahkan sumber yang lain menyebut bahwa beliau pernah mengembara keseluruh tanah Jawa, Semenanjung Tanah Melayu, India, Parsi dan Arab. Dikatakan bahwa Syeikh Hamzah al-Fansuri sangat mahir dalam ilmu-ilmu fikih, tasawuf, falsafah, mantiq, ilmu kalam, sejarah, sastra dan lain-lain. Dalam bidang bahasa pula beliau menguasai dengan kemas seluruh sektor ilmu Arabiyah, fasih dalam ucapan bahasa itu, berkebolehan berbahasa Urdu, Parsi, Melayu dan Jawa.
        Karya-karya Syeikh Hamzah Fansuri baik yang berbentuk syair maupun berbentuk prosa banyak menarik perhatian para sarjana baik sarjana barat atau orientalis barat maupun sarjana tanah air. Yang banyak membicarakan tentang Syeikh Hamzah Fansuri antara lain Prof. Syed Muhammad Naquib dengan beberapa judul bukunya mengenai tokoh sufi ini, tidak ketinggalan seumpama Prof. A. Teeuw juga r.O Winstedt yang diakuinya bahwa Syeikh Hamzah Fansuri mempunyai semangat yang luar biasa yang tidak terdapat pada orang lainnya. Dua orang yaitu J. Doorenbos dan Syed Muhammad Naquib al-Attas mempelajari biografi Syeikh Hamzah Fansuri secara mendalam untuk mendapatkan Ph.D masing-masing di Universitas Leiden dan Universitas London. Karya Prof. Muhammad Naquib tentang Syeikh Hamzah Fansuri antaranya :
- The Misticim of Hamzah Fansuri (disertat 1966), Universitas of Malaya Press 1970
- Raniri and The Wujudiyah, IMBRAS, 1966
- New Light on Life of Hamzah Fansuri, IMBRAS, 1967
- The Origin of Malay Shair, Dewan Bahasa dan Pustaka, 1968

       Menurut beberapa pengamat sastra sufi, sajak-sajak Syaikh Hamzah al-Fansuritergolong dalam Syi'r al- Kasyaf wa al-Ilham, yaitu puisi yang berdasarkan ilham dan ketersingkapan (kasyafi yang umumnya membicarakan masalah cinta Ilahi) .

 Sumbangan Hamzah Fansuri
        Syeikh Hamzah Fansuri bukan sahaja seorang ahli sufi dan penyair terkemuka, bahkan juga seorang perintis dan pelopor dalam perkembangan kebudayaan Islam. Sumbangannya boleh dilihat dalam bidang kerohanian, keilmuan, falsafah, bahasa dan sastera. Beliau dikatakan seorang intelektual yang berani pada zamannya kerana kritikannya yang tajam. Beliau mengkritik perilaku politik dan moral raja-raja, golongan bangsawan dan orang-orang kaya pada ketika itu. Dalam bidang keilmuan, beliau mempelopori penulisan risalah tasawuf atau keagamaan yang bersifat ilmiah. Sebelum karya-karyanya muncul, masyarakat Islam ketika itu mempelajari ilmu-ilmu agama, tasawuf dan sastera melalui kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab.
           Dalam bidang sastera, beliau mempelopori penulisan puisi-puisi falsafah dan mistik bertemakan Islam. Ketinggian falsafah yang terkandung dalam bait-bait puisinya sangat sukar ditandingi oleh penyair lain yang hidup sezaman atau sesudahnya. Beliaulah orang pertama yang memperkenalkan syair Melayu yang bercirikan puisi empat baris dengan pola rima akhir a-a-a-a. Jika diteliti daripada struktur syair yang diperkenalkan oleh Hamzah Fansuri, syair beliau seolah-olah merupakan kesepaduan antara ruba’i Parsi dan pantun Melayu. Seperti juga pantun dan ruba’i, syair ialah puisi empat baris yang terdiri daripada dua misra’ atau pasangan. Namun, syair berbeza daripada pantun kerana syair tidak mempunyai pembayang dan isi.
        Dalam bidang kebahasaan, sumbangannya dapat ditelusuri dalam syair-syair dan risalah-risalah tasawuf yang sangat besar jasanya dalam proses Islamisasi bahasa Melayu. Islamisasi bahasa adalah sama dengan Islamisasi pemikiran dan kebudayaan. Syair-syairnya tidak hanya memperkaya perbendaharaan kata bahasa Melayu, tetapi turut menggabungkan konsep-konsep Islam dalam pelbagai bidang kehidupan dalam sistem bahasa. Karya-karya sufisme yang terzahir dalam syair-syairnya telah mengubah perspektif dan fungsi sastera ini. Kesannya, satu dimensi baharu untuk memahami kehidupan dan keindahan diperkenalkan. Melalui hasil tulisannya, beliau memberi penjelasan sebab manusia harus mencari Tuhan dan memberi garis petunjuk untuk mencari Tuhan. 



    ABDUL RAUF SINGKEL

   Nama sebenar beliau ialah Aminuddin Abdul Rauf bin Ali Al-Jawi Tsumal Fansuri As-Singkili. Beliau dilahirkan di Kabupaten Singkel, sebuah daerah kecil di Aceh Selatan pada tahun 1620, iaitu lebih 100 tahun selepas kejatuhan Melaka di tangan Portugis. . Abdul Rauf Singkel meninggal dunia pada tahun 1693, ketika berusia 73 tahun. Beliau dimakamkan di perkarangan masjid yang dibangunkannya di Kuala Aceh.
        Beliau lebih dikenali sebagai Tok Syeikh di Kuala. Syeikh Kuala ini merupakan seorang penulis dan seorang ulama yang mengajar di Aceh sekitar tahun 1661, iaitu pada akhir abad ke-13. Abdul Rauf atau Syeikh Kuala dilahirkan di Singkel, barat Aceh.    Oleh itu  dalam dunia kepengarangan, beliau dikenali sebagai Abdul Rauf Singkel. Sebagai mengenang jasa dan menghormati peribadi beliau, sebuah universiti di Bandar Acheh telah dinamakan sempena nama beliau, iaitu Universitas Syiah (Syiyaah) Kuala.
          Syeikh Abdul Rauf Singkel telah memulakan pendidikan di kampung halamannya sendiri kemudian meneruskannya di ibu kota kerajaan Acheh pula. Beliau sering sahaja berpindah ketika mencari ilmu. Beliau juga mempelajari berbagai disiplin ilmu seperti tatabahasa Arab, membaca al-Qur’an, ilmu hadith, fiqh dan lain-lain sehingga kepada ilmu batin. Beliau juga pernah belajar seni bacaan al-Qur’an daripada seorang guru yang dikira sebagai qari terbaik pada masa itu, iaitu Sheikh ‘Abdullah al-‘Adani.
   Sekembalinya dari Tanah Arab pada tahun 1661M, pemikirannya dapat mempengaruhi kalangan penguasa istana. Sehingga Sultanah Safiyatuddin yang sedang memerintah pada masa itu telah menjadikan beliau sebagai rujukan keilmuan dan sebagai penasihat istana.

a)   Pengiktirafan Sebagai Pegawai Agama
   Golongan ulama sebagai pemegang kekuasaan dalam soal hukum hakam, manakala sultan atau sultanah sebagai pemegang kekuasaan politik atau pemerintahan.

   Keharmonian hubungan yang sedemikian, memberikan kesempatan kepada penyebaran Islam dan penghayatan tamadunnya begitu cepat berkembang. Sultan atau sultanah pada masa itu adalah sebagai pelindung kepada penyebaran Islam. Sultan-sultan Acheh telah memberi kesempatan yang sangat luas bagi perkembangan ilmu pengetahuan, malahan sebahagian daripada mereka boleh dikategorikan sebagai ulama.
    Pada zaman pemerintahan Sultan Iskandar Muda pada tahun 1607-1636M, Acheh telah melahirkan ramai para ulama besar dan terkemuka yang sukar ditandingi dan sangat dikagumi sehingga kini. Antara ulama besar yang muncul pada masa itu ialah Hamzah al-Fansuri, Syamsuddin al-Sumatrani, Abdul Rauf Singkel, Nuruddin al-Raniri, Ibrahim al-Syami dan lain-lain lagi.

  TUN SERI LANANG
i.                    Biodata peribadi
Tun Seri Lanang atau nama sebenar beliau Tun Muhammad adalah anak kepada Paduka Raja Tun Ahmad. Beliau dilahirkan di Bukit Seluyut, Batu Sawar, Johor Lama pada tahun 1565. Beliau adalah anak keturunan Bendahara Kerajaan Melayu Melaka dan Johor, serta merupakan cucu kepada Bendahara Seri Maharaja Tun Mutahir. Beliau adalah Bendahara Johor pada tahun 1570 hingga 1579 dengan gelaran Paduka Raja III semasa zaman pemerintahan Sultan Ali Jalla Abdul Jalil Shah II dan Sultan Alauddin Riayat Shah III. Tun Seri Lanang juga ditakdirkan bakal menjadi penasihat kepada tiga sultan Kerajaan Islam Aceh Darussalam, Sultan Iskandar Muda, Sultan Iskandar Thani, dan Sultanah Tajul Alam Safiatuddin Shah.
Ketika Sultan Iskandar Muda memerintah Aceh sejak 1607 hendak meluaskan penaklukan kuasanya telah berjaya menghancurkan Batu Sawar, Johor pada tahun 1613. Dengan ini, seluruh penduduk serta perangkat istana termasuk Sultan Alauddin Riayat Shah III, Putri Kamalilah (Putri Pahang) dan Bendahara (perdana menteri) tun Muhammad ikut serta dalam penghijrahan ke Aceh dan telah menetap di negeri Samalanga. Di situ Tun Seri Lanang telah belajar agama dengan Syeikh Nuruddin Al Raniri, manakala Tun Seri Lanang pula mengajar Syeikh Nuruddin Al Raniri bahasa Melayu. Di Aceh beliau bergelar ‘Orang Kaya Dato’ Bendahara Seri Paduka Tun Seberang’.
Peribadi Tun Seri Lanang yang lebih suka membenamkan diri dalam kehidupan masyarakat bawah dan menjalani kehidupan seharian sebagai petani, pembuat perahu dan guru agama termasuk mengajarkan Bahasa arab menyebabkan beliau tidak dikenali serta merta sebagai salah seorang pembesar kerajaan. Walau bagaimanapun, setelah Putri Pahang telah menceritakan tentang peribadi asli Tun Seri Lanang yang merupakan seorang yang berpengetahuan luas, seorang ahli tata negara kerana mempunyai pengalaman menjadi bendahara kesultanan Johor. Dengan ini, Tun Seri Lanang diberikan mandat oleh Sultan Iskandar Muda untuk menjadi raja pertama di Samalanga, iaitu sebuah daerah di Timur Aceh. Beliau menjawat jawatan tersebut bermula pada 1615 sehingga 1659.
Pada tahun 1659, Tun Seri Lanang telah mangkat di Lancok dan dimakamkan di sana. Sebelum kemangkatan beliau telah menjadikan negeri Samalanga sebagai pusat penyebaran agama Islam di timur Aceh dan sehingga kini pun kawasan tersebut menjadi tumpuan bagi sesiapa sahaja yang ingin mendalami ilmu agama. Hal ini kerana latar belajang Aceh digelari dengan sebutan “Serambi Mekah”.

ii.                  Peranan  dan Sumbangan dalam perkembangan bahasa
Sepanjang hayat Tun Seri Lanang, beliau bukan sahaja memiliki ilmu kenegaraan malah mempunyai kepakaran dalam membuat syair. Karya agungnya yang berjudul Sulalatus Salatin (Peraturan Raja-Raja) atau nama jolokannya Sejarah Melayu dikenali sebagai salah satu perbendaharaan masa lalu yang abadi sehingga saat ini. Karyannya yang monumental itu merupakan sebuah hasil sastera sejarah yang bercorak prosa-riwayat. Beliau bertindak mengarang dan meyusun semula Sulalatus Salatin dan pelbagai perubahan serta penambah baikkan yang dilakukan beliau sehingga karya tersebut menggambarkan sejarah orang Melayu.
Tun Seri Lanang amat berjasa dalam membuktikan bahawa masyarakat Melayu zaman dahulu kala sudah mengenal gaya penulisan berkesusasteraan tinggi. Hal ini kerana beliau merupakan tokoh pengarang dan pujangga yang terkenal dalam penghasilan buku sejarah mahupun panduan adat istiadat dalam peradaban, kebudayaan serta sistem pemerintahan Melayu. Dalam kepengarangannya, masyarakat terdedah dengan ilmu-ilmu yang mampu mendidik masyarakat memiliki jati diri yang tinggi. Selain itu, beliau juga telah bertanggungjawab dengan mengembangkan agama Islam di Semenanjung Melayu hingga ke tanah seberang ketika diberi kepercayaan untuk memerintah Samalanga, Aceh, Indonesia pada tahun1645. Penyebaran agama Islam telah berlaku dengan luas dalam tempoh pemerintahan beliau di Aceh.
Keintelektualan dan ketokohan Tun Seri Lanang terus diingati sehingga kini terutamanya dalam bidang persuratan Melayu. Majlis Bahasa Melayu Singapura (MBMS) telah memperkenalkan anugerah khas bagi menyemarakkan dunia penulisan, iaitu Anugerah Tun Seri Lanang, anugerah tertinggi yang mengiktiraf penulis-penulis di Singapura sebagai tokoh seni yang ulung di mata masyarakat berbilang bangsa dan budaya Singapura.

 ABDULLAH MUNSYI
i.                    Biodata peribadi
Abdullah Munsyi atau nama sebenarnya Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi dilahirkan pada tahun 1796 di Kampung Masjid yang juga dikenali sebagai Kampung Pali oleh masyarakat Keling ketika itu. Beliau adalah anak bongsu daripada empat beradik tetapi ketiga-tiga abangnya telah meninggal dunia ketika kecil, iaitu berusia antara setahun hingga tiga tahun. Beliau berasal daripada keturunan India dan Arab yang bermula daripada seorang pemuda Arab Yaman, Syeikh Abdul Kadir yang mengembara dari Tanah arab sehingga ke Nagor, India Selatan dan berkahwin dengan gadis tempatan serta bermastautin di tanah asing itu. Selain itu, Abdul Kadir juga pernah menjadi jurubahasa dan jurutulis.
Abdullah tinggal bersama neneknya Peri Achi yang berkerja sebagai seorang guru besar di Kampung Pali semasa bapanya berniaga di luar negeri Melaka. Dengan ini, beliau lebih cepat pandai menulis dan membaca berbanding dengan kanak-kanak lain. Tambahan lagi, Abdullah pernah diambil kerja sebagai kerani, penterjemah dan jurutulis kepada pihak Inggeris sewaktu kedatangan Stamford Raffles.

ii.                  Peranan  dan Sumbangan dalam perkembangan bahasa
Sesungguhnya Abdullah mempunyai pengalaman yang luas dalam bidang penulisan. Menurut Ismail Yusoff (2008), beliau pernah bekerja sebagai guru bahasa, wartawan, sejarahwan, penterjemah dan banyak lagi pekerjaan yang melibatkan bahasa. Selain itu, kejayaan Abdullah dalam bidang penulisan banyak didorong oleh faktor persekitaran seperti keadaan sosio-politik, kehidupan keluarga malah bakat semulajadi yang dimilikinya.
Terdapat banyak karya bermutu yang dihasilkan oleh Abdullah Munsyi, antaranya Syair Singapura Terbakar (1830), Kisah Pelayaran Abdullah ke Kelantan (1938), Kitab Adat Segala Raja-Raja Melayu dalam Segala Negeri(1838) dan Kisah Pelayaran Abdullah ke Juddah(1854). Di samping itu, beliau turut menghasilkan karya terjemahan Hikayat Pancatanderan dan menyunting Sejarah Melayu, malahan ada karya-karya beliau telah diterjemahkan ke dalam bahasa asing.

Kebanyakan karya yang dihasilkan beliau membawa unsur-unsur pembaharuan dalam lapangan sastera Melayu. Selain itu, karya Abdullah dalam bidang sastera menjadi tanda pergeseran daripada sastera Melayu Tradisional kepada sastera Melayu Moden. Hal ini dapat dilihat daripada karya syairnya yang penulisannya mula meninggalkan tradisi pelisanan. Menurut Sweeney (2005: 15-16) menyatakan bahawa Abdullah membawa pembaharuan dalam bahasa Melayu, terutama dalam penggunaan konsep-konsep abstrak.




    KESIMPULAN
    Pengkaji mendapati bahawa masyarakat Melayu khususnya harus mengetahui tentang tokoh-tokoh pengkarya terdahulu. Hal ini demikian kerana, mereka sangat bersungguh-sungguh bagi memastikan bangsa dan agama mereka berilmu dan dihormati oleh orang lain. Selain itu, mereka juga bersikap sangat mencintai ilmu pengetahuan. Mereka sanggup berkorban masa dan berjauhan dengan keluarga dalam menuntut ilmu.

   Usaha yang dilakukan oleh pengkarya pada masa dahulu harus diteladani oleh masyarakat kini. Hal ini demikian kerana, ilmu yang telah disampaikan oleh pengkarya perlu dikembangkan agar semua lapisan masyarakat dapat memahami isi kandungannya. Tokoh-tokoh dia atas juga telah banyak memberikan sumbangan terhadap bahasa dan peradaban Melayu. 


















No comments:

Post a Comment